Monday, June 30, 2008

Berburu Properti Cirebon

Seorang pekerja tampak sibuk menyelesaikan pembangunan sebuah rumah tipe 72 di kawasan Tuparev, perbatasan Kota dan Kabupaten Cirebon. Pembangunan rumah tersebut sudah 70 persen dengan menyisakan pengerjaan bagian langit-langit, pengecatan, dan penyambungan aliran listrik.

Pembangunan perumahan di Kota dan Kabupaten Cirebon makin menggeliat. Hal itu terlihat mulai dari pusat kota yang memanfaatkan lahan sempit dengan sistem pembangunan kluster dan embel-embel regency atau residence hingga kawasan bukit dan persawahan yang menjanjikan panorama alam nan asri dan sejuk.

Tipenya pun beragam, mulai dari rumah mewah dua lantai berdesain mediterania dalam satu kompleks kecil berisi 10-20 unit sampai rumah tipe 21 dan 36 bergaya minimalis yang berderet di pinggiran kota. Harga yang ditawarkan bervariasi, yakni Rp 50 juta-Rp 80 juta untuk rumah sederhana serta Rp 200 juta-Rp 400 juta untuk rumah dengan luas tanah di atas 150 meter persegi.

"Mau dibuat apa saja modelnya bisa, terserah pembeli. Harga bangun rumahnya Rp 2 juta per meter persegi, sedangkan harga tanahnya Rp 600.000 per meter persegi," ujar Arief, salah seorang pengembang yang sedang membangun rumah di daerah Tuparev, Kamis (17/4).

Sudah menjadi rahasia umum, lokasi rumah adalah penentu segalanya. Menurut Kepala Ray White Kota Cirebon Didi B Suhardi, harga rumah di lokasi strategis atau dekat pusat kota lebih mahal. Contohnya adalah daerah di Jalan dr Cipto serta perbatasan kota dan kabupaten ke arah Bandung, seperti Tuparev dan Plered. Lokasi di Ciperna, perbatasan Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan, pun termasuk diincar konsumen.

Ratih Puspita Dewi, Marketing Pengembang Ciremai Estate dari PT Grage Abadi, menuturkan, harga adalah hal pertama yang dilihat pembeli. Makin murah harga, peminatnya akan mengantre. Namun, rumah seharga di atas Rp 100 juta tetap diminati. Pembeli umumnya ingin berinvestasi atau memiliki rumah untuk menikmati liburan.

Oleh karena itu, rumah yang dibangun harus memberikan fasilitas dan kenyamanan lebih bagi penghuninya. Ciremai Estate, misalnya, menawarkan lanskap Gunung Ciremai, kesejukan udara yang jauh dari polusi udara dan kebisingan kota, serta keamanan dengan sistem jalan keluar satu pintu. Lebih-lebih, lokasinya dekat dengan sejumlah obyek wisata di Kuningan.

"Yang kami tawarkan adalah tempat tinggal yang berkonsep resor sehingga 90 persen rumah dibeli untuk investasi dan liburan. Hanya 10 persen untuk tempat tinggal," kata Ratih.

Daya beli
Menurut Surya Wijaya, Direktur Utama PT Indojaya Pan Pratama, kendala penjualan properti di Cirebon adalah daya beli masyarakat setempat yang cenderung lemah. Apalagi, harga rumah selalu naik 10-30 persen per tahun. Sebaliknya, kenaikan upah pekerja hanya sekitar 10 persen per tahun. Belum lagi, harga tanah dan bahan bangunan seperti besi baja, kayu, dan semen selalu meningkat. "Daya beli masyarakat Cirebon ini masih lemah karena faktor penghasilan yang kecil," kata Surya.

Dedi Osilajaya dari Bagian General Affair PT Griya Permata Indah juga mengeluhkan hal serupa. Pengembang dari Taman Kalijaga Permai ini mengakui, harga bahan bangunan menjadi faktor utama dalam membangun rumah murah. "Harga semen Rp 40.000 per zak dan tulangan besi berkisar Rp 30.000-Rp 40.000 untuk ukuran 8 milimeter membuat kami harus benar-benar berhitung dalam membangun rumah dengan harga terjangkau," ujar Dedi.

Meskipun demikian, Dedi menyatakan harga pasaran perumahannya tergolong murah karena masih mendapatkan subsidi dari pemerintah. Dengan harga Rp 62,5 juta dan Rp 70,25 juta per unit, konsumen masih bisa memperoleh rumah tipe 30 dan luas tanah 70 meter persegi atau 84 meter persegi di tengah perumahan yang sudah jadi di Kota Cirebon.

Kemudahan lain ialah pinjaman uang muka dari PT Jamsostek bagi karyawan swasta atau Bapertarum bagi pegawai negeri sipil. Namun, sebagai kota niaga terbesar di Jawa Barat, Cirebon tetap menjanjikan bagi bisnis properti. Banyak perusahaan membuka kantor cabang di wilayah ini sehingga membutuhkan kantor untuk kegiatan operasional dan rumah bagi pegawainya.

Pertumbuhan pendatang yang masuk dan bekerja di Cirebon merupakan peluang pasar properti. "Porsinya, 40 persen konsumen properti di Cirebon adalah orang-orang luar Cirebon. Sisanya adalah konsumen lokal yang membutuhkan rumah baru," papar Dedi.

Biaya tinggi
Sejumlah konsumen mengatakan, untuk membeli rumah di Cirebon tersedia banyak pilihan yang disesuaikan dengan dana. Akan tetapi, ada biaya tidak terduga dengan jumlah begitu besar yang memberatkan pembeli. Jatmiko, karyawan perusahaan asing, mengeluhkan tingginya biaya notaris dan KPR yang dibebankan kepada konsumen.

Untuk membeli rumah pertamanya bertipe 60 dengan luas tanah 135 meter persegi, ia harus menambah Rp 24 juta. Padahal, dirinya masih harus membayar uang muka. "Kami ingin membeli rumah dengan mencicil karena tak ada biaya, tetapi justru dibebani biaya tinggi yang harus dibayar lunas saat akad kredit," katanya. Ginawati, pengajar di perguruan tinggi negeri di Cirebon, juga kaget dengan beban biaya pembelian rumah yang begitu besar. Dia berharap ada solusi sehingga bisnis properti tetap menggeliat.